November 24, 2014

Alasan

Mungkin ini hanyalah bentuk pembelaan diri yang keterlaluan jauhnya
Karena ketakutanku pada embun-embun di pohon tempatku berteduh.

Maafkan Aku.

Yk,  November 2014

November 19, 2014

Untuk Kita, Nantinya

Apa yang bisa aku tawarkan padamu jika barisan pinus tak mampu halangi berkas cahaya
Pelita hangat tatapan itu.
Tatapan yang hentakkan semua sepiku di suatu hari di bawah pelangi.
Apa yang bisa aku tawarkan padamu jika hadirmu tepiskan semua ombak
Penciut hatiku.
Saat fajar bahkan tak bersahabat.
Selamanya kita akan begini,
Dalam sautan yang kau akhiri dengan derai gempita
Sebuah anugerah atas jengah rutinitas.
Selamanya kita akan begini,
Berteduh sebentar biar tenang jika hujan turun terlalu deras
Atau petir hendak menyambar.
Selamanya kita akan begini,
Saling membaca halaman diri satu sama lain,  karena paham
Tak lahir dalam semalam.
Selamanya,
Aku akan mencintaimu.


November 2014

November 18, 2014

Asing yang Menepi

Sudah berapa jam telingaku denging tak henti
Kata orang ada yang membicarakan

Sudah berapa hari sejak makanku tak berselera
Seakan hidangan hanyalah angin di dalam perut
Kata orang banyak pikiran

Sudah berapa lama lembar-lembar kosong tak bertulis
Diacuhkannya di pojok ruang
Kata orang uring-uringan

Sudah berapa hari tidur malamku tak nyenyak
Kata orang sedang keterlaluan merindukan

Sudah berapa lama sejak detak ini berhenti berdegup keras
Hanya karena sebuah sosok
Kata orang
Purnama di kala siang.

Kiranya gugup datang bukan untuk diacuhkan begitu saja.

Aku bercumbu di bawah naungan malam dengan pikiranku yang melintas jauh lewati alang-alang impian
Murung ku hangus
Dibakar cepatnya transit di hulu sebuah perasaan.

Yk, November 2014

November 07, 2014

Di Awal Pagi

Di dalam pagi aku merindukanmu
Berharap tanganku mampu tepikan ragumu agar luruh tak menggunung

Di dalam kopi aku mengaduk
Berharap pahitmu akan lebur jadi satu dengan gula
Jadi kau tak lagi terbiasa hampa
di tengah malam-malam ketika kau tetap terjaga oleh sepi dan sendiri

Di dinding-dinding ini punggungku bicara
Menyangga karena kaki hampir tak mampu lagi tegak menopang badan
Menunggumu dengan setia kala hempaskan lirih

Dalam hangat selimut aku meringkuk
Berharap dinginnya tak buatmu kebal menyiksa diri
Logikamu harus tetap jadi latar
Berhentilah saat hujan menyapa.

Dalam diam menahun aku berharap
Kau sadari hadirku
Tak usah lagi berpeluh keluh
Tak tampak lagi tatap mata sendu
Ada aku
Yang seksama memperhatikanmu
Jadi jangan sendiri menerjang hari.

Yk, November 7, 2014

November 03, 2014

Di Bawah Sebuah Atap

Setiap masa yang dihadirkan usia
selalu berakhir apik sebagai pelajaran tertulis lekat warnai gambaran angan di depan
Meski akhir kadang tak secemerlang biru sebelum mega,  atau terik di jam tiga sore
Namun damai selalu jadi makanan penutup terbaik di akhir makan malam

Walau kadang menunggu perih enyah itu membosankan, menanti jawaban itu meresahkan,  memastikan kebaikan atas waktu yang melumat pelan kesabaran,
Lebar ku lentangkan tangan terima pelukan hidup
Tak gentar ditembus pedih, tak termakan ditipu kesenangan

Kita pernah ada di bawah langit yang sama untuk waktu yang cukup lama.
Aku pikir kita sama,  karena setiap sakitmu aku ada mendengarkan.  Setiap tawa yang ku bagi adalah konsumsi primermu agar bertahan dengan luka yg disimpan
Bagaimanapun juga,  bertemu denganmu menyadarkanku
Bahwa nyaman tak diukur oleh senjang waktu sebuah pengenalan
Kepercayaan dibenah bukan hanya dengan selaya pandang
Keyakinan berlebih nantinya akan menuai kebencian,
Suarakan harapmu,  jangan jadi desahan belaka
Hempaskan nada pelarian.

Berlarilah kepedihan,  karena kau akan ku lupakan.

November 2-3 2014, Yk

November 02, 2014

Pengakuan

Di dalam tulisan aku
Kehilangan jati diri
Kadang aku merasa dirasuki,  bukan seperti aku
Seorang yang menanti di sebuah dermaga akan senja.

Ada paham yang terkadang tak sanggup dihirup pikuk biar jadi lebur
Ada masa di mana mata tak lagi menatap arah yang sama
Tapi tangan tetap giat mengukir indah dan menanamkan ideologi pahit ketika lagi kepala seret memori pulang
Terjebak dalam hal yang sama.

Tapi tulisan,
Di dalam tulisan aku bertumbuh dewasa
Kata seakan jadi saksi penghapusan pembodohan,  dibukanya jalan pikiran
agar lelah bisa dirangkum dan dibingkai mesra ingatan

Seorang yang menanti senja di dermaga tenggelam dalam duka penantian
Melihat orang-orang beranjak pergi menuju bulan
Kesabaran
Apakah terbatas?
Laksana bumi yang agung tak berujung,  tapi begitu bergantung pada orbit
Sekuat apapun berlari dari realita,  tanggungan mengapit gaib di lengan, selalu.

November 2, 2014, Yk

October 31, 2014

Berpikir

Aku mungkin seorang yang suka mencari alasan agar sendiri. Biar otakku bisa sejenak berbuih krn terlalu diforsir. Malam terhanyut semu, ketakutan diancam sunyi. Sakitku meradang, membelah makin lebar. Lembar demi lembar raib diremas gaib usia. Di malam-malam tanpa kehadiranmu aku terpojok lesu tak berasa. Henti sesakku, arahkan kegelisahanku lewat janjimu yang agung. Menua membuatku berontak, makin menjadi saat tegasku tak digubris patriarki. Aku bertanya lewat bintang redup redam di sana; Pantaskah aku terima segala, bahkan salah yang bukan ku lakukan, harus jadi tanggungan punggungku sampai saat nanti ketergantungan ditanggalkan. Aku menahan semua rasaku, bahkan sebuah cinta yang baru dihimpun pagi setelah delapan kemarau ku lalui. Aku tersiksa. Aku ingin membarakan api dalam mataku. Dadaku panas terbakar. Ini tak adil untuk hatiku.. tapi apalah pentingnya hati ketika kepalamu jadi garansi, pembebasan sebuah monarki.

Dps,  July 29 2014

June 29, 2014

Amarah

Hambar
Tiap tegukan, hirup, rasa
Semuanya tak berasa

Bosan
Tiap kata, frase, klausa, kalimat
Semuanya tak guna ditanggap

Hampa
Tiap cinta, rindu, rayu, rajuk, canda
Semuanya tak ayal jadi belenggu

Bisa jadi salah karena syukur tak diamini dengan benar di jiwa

Tak tahu kenapa, muak jadi terus menumpuk
Duk, duk, duk !
Lalu kadang kalau penuh meledak jadi
Uring-uringan

Tangan sudah letih dikepal terus sampai luka di buku-buku karena kuku
Nadi membiru, naik ke permukaan

Oh, sudahlah. Aku sudah cukup mengalah!

11 Juni 2014

AKU TAKUT BILA MALAM TIBA (II)



Aku takut bila malam tiba,
Kekhawatiranku diapresiasi larut dengan gemuruh pikiran-pikiran kalut
Spekulasi-spekulasi tak beralasan
Antara bingar imaji dan nyata sudah ditalak taksa

Aku takut kala malam tiba,
Denting ini tak jadi lullaby
Tapi penu hela napas berat sehabis jauh ku tarik panah napas
Alih sekejap masalah-masalah lalu kembali lagi berkecamuk dalam gelap
Aku takut bila malam tiba, 
Pejam mata membawaku ke dalam fana logika yang terendam emosi

Aku takut, sungguh, kala malaam tiba
Rindu yang semula hantar lelap tidur jadi kosong yang menyebar perih
Sesak di dada.

Aku takut bila malam tiba, kasih
Menyadari kita tak lagi bersama
Uap satu cita
Cinta (yang dulu) terasa indah

Yogyakarta, 20 Juni 2014

June 05, 2014

Mengenaimu dan Udara

 Apa aku harus menyimpan memori ini dan lekatkan lencana namamu
erat di dadaku hingga tak terlepas dianginkan hujan dan petir?
Angkasa akhir-akhir ini ramai berkunjung hiaskan dunia
Aku merangkai langit perlahan, diam-diam menulis
lewat udara yang hantarkan garis wajahmu ke orion
Mungkin sebuah waktu bahagia
sedang menunggu di balik awan..

Apakah bisa aku tepiskan rona dari wajah setiap kau bicara?
Aku suka semua hal merajuk tentangmu
Pembicaraan cair kita melayang sebagaimana tiap oksigen yang terserap
kenapa aku lebih suka saat kita tak harus bicara biasa
Ketika aku sudah jadi abstrak dan kita tak lagi bicara
Apa kau akan tetap sama mencintaiku 
Atau rasamu menuntun jalanku kembali pada ingatan
Semua takkan terjadi
Masa lalu hanyalah sebuah memori.

Bernapaslah, hirup udara sebebas mungkin
Jika tenang mulai turun dari langit untuk mengikat
Sebuah kepastian
Datang padaku
Dan berbagilah ingatan bersama
Dari lembayung sampai mega
Dari gugur sampai panas
Dari major sampai minor
Dari lara yang bisa bias atau bahagia yang berbekas
Tetaplah bersama ketika perubahan mengalir deras 
Mematahkan masa muda kita
Mengurung kebebasan fisik kita
Memudarkan pikiran perlahan
Saat mata hampir sayu sampai terbuka di suatu tempat nanti
Serenity, keep staying next to me.


 June 2-5 2014, Yogyakarta

May 31, 2014

A Fighter

Aku adalah seorang pribadi terang
Beberapa tahun belakang, aku berhasil melawan rasa takut sendiri
Mengatasi tiap sisi minus dan menjadikannya kebanggaan dalam sekali balikan tangan
Aku adalah jiwa yang gemilang
Berpendar dari dasar samudera, bangkit dari keterpurukan keadaan serta ulah

Aku pernah gagal sebelumnya
Kali ini segenap berani aku rangkul untuk memulainya dari awal
Mengambil resiko atas pilihan yang buat aku gentar saat menyadari
“ Bagaimana jika aku kehilangan?”
Tapi ini sudah aku pilih, menyesal tak ada guna
Hadapi saja, kata sumbu dalam dada
Karena aku seorang berani dan pemimpin dari jutaan sel di dalam tubuhku.

Aku hampir lupa apa yang namanya tenang
Air sudah tak bisa mengajarkanku bagaimana berselancar
Maka saat ini, mungkin
Saat kuatku diadu oleh kenyataan
Ditinggalkan dan meninggalkan.
Memulai dan mengakhiri.

Tuhan, bolehkah aku takut?

Semua yang terlihat setengahnya terasa imajinasi
Seperti dejavu yang scenenya diulang terus-menerus sampai
Aku mual.
Aku ingin menyerah, tapi menyerah dengan rasa terhormat
Tak pernah dibersitkan rasa di terdalamku.
Maka aku, si jiwa petualang
Hanya satu dari triliunan jemaah di dunia
Satu dari himpunan pejuang
Merasa pantas untuk menghadapi semua
Karena aku seorang yang berhak
Memiliki dan menjadi bagian dari
Bahagia yang abadi.

Yogyakarta, 29 Mei 2014

May 08, 2014

Inspi rasi





Ada yang mendesak untuk dibangunkan


Tampak suri dalam jiwa-jiwa lama


Gagal hidup kembali karena beku oleh dinginnya hati


Sesuatu tak terlihat berlari di darahku


Tanganku gemetar seakan terkejut diarahkan


Kuasa diri hengkang digunting batas-batas imaji


Semua benda menari menggila rayakan


Hari-hari hujan cahya matahari


Dan hari-hari penuh warna sebelum pelangi


Aku kembali !

Yogyakarta yang bergelora, 25  April 2014

May 03, 2014

Kepikiran

Ada sekat di antara kau dan aku
Seribu bilik labirin terham[par depan mataku
Batasi tiap lema yang ku kirim untukmu
Jawaban hanya sebaris, berlalu
Entah enyah nilai pesanku padamu
sesaat setelah baris namaku kau tatap
Keadilan aku pertanyakan pada keadaan
Apa aku bersalah hingga atmosfer bergegas hening, lalu kau hilangkan diri
Tenggelam pada orang baru, yang dulu sering kau katakan,
" Mereka berhenti datang saat hujan menerjang "
Kini hadirku melayu tak berhias di lingkupmu
Keterikatan sudah dimatikan
Kau jauh, semakin jauh
Ku harap itu suri.

Spekulasi tak ku rancang, karena aku berlaku tulus
Ini bukan intrik sebuah narasi
Langit terlihat berputar, sisi hatiku ada yang
kosong minta diisi
Aku tak mau mengisi dengan hanya ingatan
Karena mengingat yang telah pergi
itu menyakitkan

Hatiku meminta berhenti
Tapi sakit memaksaku tetap disini


Yogyakarta, 30 April 2014

May 01, 2014

Masih

Aku jatuhkan palu menandai berakhirnya dunia imajinasiku
yang mati dibunuh hadirnya
Realita jadi semakin mendekat,
menukik tajam di tikungan
Masuk dari kelenjar air mata
Tanpa sempat berkedip,
Rasa menusuk tanpa sakit
Membius tanpa kantuk
Buatku meratap saat tak bersua sekejap saja
Rasio tak dibutuhkan, daftar harapan enyah
Rekonstruksi dilakukan dari awal lagi
Dari hal kecil di sudut yang lain
bangunan lama yang telah kita sama-sama pagari hasilnya dahulu
Sedikit terlupakan
Semacam
Amnesia
Mungkin aku yang amnesia.

Mesra aku dengar biru pagi mengejawantahkan hangat
menjelang mentari pulang
Apa yang aku lakukan bisa jadi tak benar
Tapi kebenaran takkan terkuak jika tidak dibongkar
Aku menemukan sumbernya, memutuskan memilihnya
Dan menjalaninya tanpa peduli
berhasil sesuai bahagia atau
meledak bagai molotov



Yogyakarta, April 2014

March 13, 2014

Delapan

Sedang menanti senja seperti kemarin,
Lembayung membaur jadi satu dengan biru
Dari kota kecil di sudut hatiku,
Menengadah membuka gerbang untuk kembali bersorai
Lonceng berdentang, wangsa sudah ribuan kali berubah warna
Kita tetap ada di posisi yang sama, hanya
Rasa yang berbeda.

Februari akhirnya melihat aku yang (menanti)
kadang gelap di beberapa pilihan.
Mengelana jauh, bertemu raut-raut beda
Tapi lalu kembali pulang ke asal
Getar yang mengantarku pada sebuah nyaman
Dari genggaman sebuah tangan.

Meski teramat tak sama
Bagaimanapun juga lugu itu buatku luluh
Bagaimanapun juga hadir itu buatku tak daya
Meski mungkin ini akan susah
Untuk saling mengisi dengan tugas yang tak lagi seperti di awal
Aku mencoba
melengkapi.

Karena bahagia itu sederhana
Bahagia itu memilikimu.

March 7 14

February 24, 2014

Seharusnya Kau

Semakin aku jauh berlari, semakin aku menua ditelan masa
Maka semakin penuh sadarku,
bahwa apa yg terasa dekat, kadang dlm sekejap bisa jadi asing tanpa tahu apa sebabnya.

Aku menatap ragamu,
Sempurna meski kau tlah bergelut melewati beberapa dasawarsa.
Garis mengurat nampakkan indahmu, pertegas keagunganmu sebagaimana sastra menggambarkan sosokmu dalam tiap helanya.
Aku memaku namamu, tertancap keras di hatiku, meski kadang hatiku harus terseok krn mengejar cintamu

Beberapa cerminan tak mampu lagi kau amati.
Kau punya mata tapi tak berguna.
Kau bicara laksana Dewa, tapi kata-katamu tak berarah.
Kasihmu makin redup, tak terjamah.

Seharusnya kau jadi panutan, bukan malah
Aku yang berusaha meluruskanmu
Seharusnya kau yang menjaga, bukan
Aku yang harus berkorban menyertaimu agar kau tak terluka atas kesalahan yang kau buat.
Seharusnya kau tahu posisimu, bagaimana cara berpikirmu, tindakmu, pada yang bukan sesamamu
Seharusnya kau menenangkan aku, bukan malah menganggu malamku dg khawatirku yang entah kapan membludak
Buat aku gila.



Bali, Februari 2014