April 25, 2016

Pengagum

Berawal dari sebuah tangan yang ku terima meminta bantu dibawa jalan
dari asing baginya, namun rumah untukku.
Sebuah imbalan dibacakan padaku, sebagai tanda balas jasa atas bantuan
yang bertahun kemudian dilupakannya.
Terkadang aku membukanya, sesekali di masa lampau
Tapi logikaku selalu berselancar bebas hinggap di dahan satu
sibuk mengamati yang lain
Barisan pendaki di bukit-bukit baru tempatku menata diri.

Adalah matahari setengah tinggi, aku mulai memperhatikannya
Ketika dia bertanya siapa namaku, kemudian menuliskannya di lembar
Lalu tersenyum.
Aku mengaguminya karena dia begitu berpendar dalam ilmu
Namun tetap riuh saat kelompok kami menepi di tiap semester
Dia begitu suka sesuatu yang lama,
Jiwa-jiwa klasik dari buku-buku terbitan senja bacaannya, hipotesaku
Karena dia suka bicara begitu tua dari umurnya
Persamaan dimana aku selalu menemukan diriku yang sebenarnya, klasik.

Aku begitu mengagumi pikirannya, yang jauh lebih luas melahap objek tulisan dariku.
Keingintahuannya yang tak terelak membawanya maju dengan sangat baik
Pujian mengalir baik di muka maupun belakangnya
Hal-hal yang dia miliki adalah apa yang ingin tetuaku harapkan aku bisa seperti itu.
Aku mengaguminya
Ku pikir, dia tak begitu sadar langkahnya mampu
membuat ribuan bunga bermekaran sebelum musim semi
membuat pelangi hadir jauh sebelum awan menghirup uap air laut.

Aku mengaguminya..
(meski kadang aku ragu untuk melihatnya lama pada mata)

Mungkin karena dia begitu luwes berteman dan terkadang
ku pikir terlalu bersahabat, maka dia dengan mudah hadir di pikiran tiap insan
begitu pun juga mengapa dia kini hadir di tulisanku
(ha-hal yang nanti ‘kan ku ingat lagi dalam lowongku).
Dia begitu mudah untuk dicintai, tapi ku pikir akan ada barisan panjang pengagum rahasia maupun frontal
yang menunggu untuk dipanggil namanya dari dalam doanya.
Semoga dia akan selalu bersinar dan bahagia seperti ini
Karena aku,
seorang pengagum biasa,
mendoakannya seperti itu.


Yogyakarta, 22 April 2016