October 14, 2012

Tuan Yang Terhormat


Ayah, aku ingin bercerita tentang masa yang dulu pernah ku habiskan utuh denganmu. Yang tanpa harus ku bagi dengan tembok-tembok kesibukan yang kini kujalani. Ayah, tiap pagi aku membuka mata, kau ada dengan hentakan ala militer membangunkan kami. Ayah, aku dulu pernah kesal saat harus bangun dengan perasan terkejut, tapi aku tak bisa lama-lama marah. Ku pikir cintaku padamu terlalu tak berbatas sehingga saat kesal muncul, mereka hanya jadi bias semata.


Ayah, dulu saat hari masih biru dan dingin, kita bersama berlari. Kau selalu mendahuluiku, meminta ijin untuk sendiri berlari. Aku mengiyakan, tapi di tikungan selanjutnya, kulihat kau diam menunggu. Menatapku, menggodaku dengan candamu yang kadang butuh waktu beberapa saat untuk buatku tertawa. Selalu begitu, Ayah, sejauh apapun kau melangkah, kau tak pernah jauh-jauh meninggalkanku.


Ayah, kita selalu bersama.. Ayah selalu menyemangatiku di saat aku jatuh, takut dan terluka. Ayah selalu hadir memberi aku panutan, bahwa manusia tidak akan dan tak boleh berhenti berusaha selagi dia hidup. Ayah selalu bilang, untuk menjadi orang yang lebih dari Ayah, sehingga di kemudian hari, aku takkan terus bersedih. Ayah, memilikimu adalah kelebihan terindah yang Tuhan berikan. Untuk apa aku harus bersedih, kalau aku memilikimu.


Ayah, ada banyak kisah yang terurai di catatan kehidupanku, terutama di saat aku mulai belajar hidup sebagai asing di tempat yang baru. Mungkin beberapa memori tak teringat dimakan masa, tapi Ayah selalu hadir mengimbangkan hal yang tak seimbang. Ayah selalu tiba tepat waktu. Ayah yang selalu menjawab semua keingintahuanku yang terkadang overlimit, sampai akhirnya kini, aku mampu menjawab yang ingin ku tahu sendiri.


Ayah yang selalu bilang untuk menggali potensiku dimanapun, berteman dengan siapapun, dan ambil semua sisi positif yang mereka punya lalu terapkan hal tersebut untuk menata diri. Ayah yang selalu mengarahkanku untuk lurus, meski aku juga pernah sedikit pergi dari arahan, lalu kembali karena menyesal. Ayah tetap saja memaklumi dan menerimaku pulang dengan senyuman. Bermilyaran pemakluman atas semua kejadian yang pernah terjadi dalam hidup kita. Ayah bilang itu pelajaran, sudah semestinya setiap insan memantapkan pada diri sendiri, bahwa kesalahan masa lalu harus jadi cambuk kemajuan untuk masa depan.


Ayah, ketika esok mulai menjelang, tetaplah sehat dan bahagia. Tetaplah menjadi seorang optimis yang selalu menulis fakta sebagai akar pemikiran. Ayah yang selalu menanamkan demokratisasi di tiap pembicaraan dan perencanaan pengambilan keputusan bersama. Ayah yang selalu minta dibuatkan teh panas di tiap senja. Ayah yang kuat meski derita menginjak tengkuk kita. Ayah yang memberiku nama penyair favoritnya. Aku tak tahu ekspektasi apa yang hendak Ayah tanamkan atas kelahiranku. Tapi aku berjanji untuk menghasilkan karya atas kerasnya karsa yang bisa membuatmu bangga.






Ayah, aku ingin belajar banyak, mohon ijinmu.


September 30, 2012