October 28, 2015

Dua Puluh Satu yang lain

Alangkah gemuruh cinta-Nya syahdu mendendang hati hamba.
Murni menarik semua resah yang hambur keluar dari penjara
Lama kurung asa dari minor yang terhempas lama.
Hamba hanyalah uap dari air
Yang hampir hilang dilahap bayu
Namun lalu Kau sempurnakan wujudnya
Dengan ribuan cobaan dan anugerah
Silih berganti mengisi perjalanan
Menuntaskan kebutaan manusiawi yang fana.


Oktober 21, 2015

August 10, 2015

Dan masa lalu

Tolong angkat kegelisahanku segera dari himpitan tekanan sekitarku.
Aku hanya sekedar titik kecil di antara enam milyar gejolak yang berarus diatur masa.
Aku memikirkanmu sesekali,  menyapamu lewat gumam
Di kala pagi,  dalam sebuah kopi
Atau di pekat malam dilarut susu hangat.
Apa bisa aku menyapamu lagi? Bertemu saja aku tak mampu.
Kakiku tak lagi berada dalam lotre keberuntungan.
Kini aku hanya terpojok di tikungan,
Semua nampak jauh pergi karena alasan-
Alasan bodoh yang buatku jadi tambah keras. Lalu menghilang biar mereka senang.
Biar hatiku tak terus sakit, melempem karena tak dihargai dengan baik

Aku hidup dalam senyum di mataku,  tapi terus saja berlari agar aku tak sendiri menuju keramaian.
Pernah aku menepi ke pantai sehari karena lelah,
Tapi mengapa hatiku makin tak terasa dingin tak terjamah.
Matahari hanya simbol kesilauan,  semua lalu hilang dan datang dengan mudahnya.
Lambungku sakit bukan karena menunggu makanan, tapi karena aku menahan utk mengunyah menunggu teman makan
Yang tak pernah muncul.

Hendaknya aku tak luruhkan asaku
Karena sewaktu-waktu mereka bisa saja kembali menarikku ke belakang
Seakan segalanya nampak mudah untuk dimaafkan.
Bagaimanapun ketidakadilan akan tetap begitu,  merusakmu dengan empati yang lama-lama akhirnya akan ditinggalkan.
Mengapa harus jadi mengerti ketika sudah mencoba jelaskan tapi tak dinyana gaungnya?
Bukan berarti aku jadi hitam untuk buatmu bersalah,
Ini hanyalah bentuk kekecewaanku atas gelas-gelas yang isinya tak pernah penuh
Dari sebuah teko bersiul
Yang kau beri nama
Teman.

Yk,  July 12-Aug 10 2015

July 11, 2015

Ekspektasi

Ekspektasi adalah senjata pemusnah kepribadian paling ampuh daripada doktrinisasi.
Orang-orang bermain lidah dengan mudahnya, mengagungi kemampuan seseorang dan merasa mereka akan selalu tetap di puncak tanpa tahu bahwa nirvana adalah kumpulan insecurity dan wonder,  karena sewaktu-waktu mereka bisa jatuh ke bumi lalu terkubur dan dilupakan. (setelah fase dihina berjamaat oleh society)
Orang-orang berpikir singkat bahwa kesuksesannya adalah sebuah anugerah. Dia terlahir beruntung dan keberuntungan terpaut erat di kepalanya,  menusuk sampai ke saraf-saraf kepalanya. Tengkoraknya penuh dengan kemudahan menyelesaikan masalah. Maka lahirlah ekspektasi.
Namun, adakalanya dia terjebak dengan sendirinya,  sepi karena ekspektasi menghantam menahun di belakangnya.
Dia tak mampu bicara,  hanya kirimkan sinyal SOS bagi yang mendengar. Tapi tak pernah ada yang datang..

Ketika satu kali dia gagal, mereka pikir dia lengah. Padahal dia hanya biasa. Dia juga berespirasi-aspirasi dan menapak di tanah.
Ketika lagi salah,  orang-orang membicarakan di balik topeng mereka. Maka dia hanya akan diam,  meski tahu mereka hanya manis di depan.
Dia lalu menutup diri dari dunia luar. Kejujuran jadi fana. Orang-orang menganggapnya permata ketika berhasil dan perkara ketika mencoba jelaskan bahwa dia manusia biasa.
Dia hidup di antara kelurusan,  bertahun jadi vitamin untuk yang terpuruk
Tapi hari ini dia sadar,  ternyata ketika dia terengah diremuk keadaan,  tak satupun yang mau jadi vitamin. Maka dia lalu sadar,  dia hanya sendiri. Di pojok kamar,  meringkuk menunggu air mata keluar,  karena sesak tak mampu lagi tertahan. Tapi dia tidak menangis,  ketika dia tahu,  satu-satunya yang ada untuknya adalah kenyataan.
Dan kenyataan itu berasal dari satu wujud,  tak terlihat tapi janjinya selalu ada.
Maka aku datang berlari untukNya.

Yk,  June 26 2015

June 15, 2015

Apa Artinya

Haruskah kita berakhir begini
Bahkan selamat tinggal belum sempat ku ujar
Kau berpaling dengan mudahnya dibawa ombak,  jauh
Jauh sekali sampai aku tak kuasa membendung pahitku
Yang merajuk
minta dilepas.
Enyah lalu bahagiaku
Di bekap sesal dan tanya-tanya
Mengapa kau persembahkan dekap jika gerimis kan buatmu lenyap?

Yk,  23 Maret 2015

June 09, 2015

Segera

Rinai hujan basahi tiap batas pandangku
Menantinya reda tentu makan waktu
Bagaimana kalau terobos saja? Pikirku yang lain
Ah,  jikalau bersabar,  tentu tak usah kuyup sampai di seberang, ujar yang lain
Benarkah? Tapi waktu tak menunggu.
Memarahi hujan sama saja mengutuk Tuhan,
Dosa yang percuma.

Tuk tuk tuk tuk
Suara sepatuku mengetuk lantai kayu rumahmu
Apa gerangan pikirku sampai tiba disini
Seharusnya aku sekarang di rumah
Berbaring malas di kamar atau sekedar berlindung di bawah selimut bunda.
Aku ingin pulang,
Segera.

April 16, 2015

April 18, 2015

Tak Kembali

Kebahagiaan perlahan pergi jauh dariku
Wujud tetap dekat hanya saja hati kami sudah tak merapat seperti pagi kemarin
Saat kami hanya sekumpulan bocah pemanjat pohon jambu
Markas kebanggaan masa naif.

Naif pula yang hantarkan aku tegak berdiri,
Bahwa kita akan selalu bersama
Dalam dekap yang tak punya batas.
Hanya saja semakin dewasa, kepala kecil ini semakin sadar bahwa
Abadi hanya ada dalam bahasa dongeng.

Diremuk waktu, aku melihat mereka memilih jalan sendiri
Jalan yang menurut ayah adalah akhir dari wajibnya orang tua pada anaknya
Ayah mengucap syukur, maka bunda menghela lega
Pemandangan ini bagiku absurd.
Bagaimana mungkin kita tak lagi terikat dan punya jalan sendiri?
Ini bukan keadaan yang kondusif
Mereka semakin menjauh dibawa arus masa yang mereka gadang padaku namun nyatanya asing meski dahulu polosku mengamini.

Apa aku juga harus beranjak dari pohon jambu agar tak terlalu kesepian?
Atau sekedar menyiram tanaman sedikit saat matahari beranjak terlelap agar tak kering?

Masalah menghantarkanmu pada korslet berjamaah. Kita tak lagi sama.
Ketakutanku berbuah hasil,
Tak sejalan dalam spekulasi keras kepala.

Selamat Bahagia.

April 18, 2015

April 14, 2015

Cerita di Kepala

Aku memulai semua dari akhir
Berusaha
Menjelajah waktu
Mencarimu dari semak ke semak yang lain
Di antara ilalang kenangan yang asing
Selalu terlihat di ufuk mata tapi tak sempat dikenali.

Aku angkat daguku
Beban terlihat memudar
Gemerlapan menguap dan lalu ditelan arakan awan putih.
Segera akan bertemu,  pikirku.

Menjelang senja kau datang mencariku
Pupil matamu membesar,
Aku tak pernah bisa tahu pikirmu
Karena kau adalah sekumpulan labirin dari serpihan tak lengkap sebuah kesabaran

Masa muda hampir usai ditelan senja
Sekilas kau lenyapkan sebuah tawa dari wajahmu,
Berbalik ketika aku sibuk bicara pada punggungmu
Melihatku sejenak dalam diam lalu berkata,

"Karena kita pada awalnya adalah semu
Berbaris dalam tanya dan ragu.
Percaya menjadi jawaban di sebuah akhir abadi, indah yang tertunda. Jangan berhenti berjuang."

Lalu hanya tangis yang jadi bahasa kita, menutup sebuah senja di akhir sebuah perdebatan.
Sebuah awal yang ku percaya diberkahi Yang Kuasa.

Yk, April 13 2015.

March 10, 2015

DI SEBUAH HARI

Aku memandang langit kala subuh menyapa
Lewat mentari yang merona di balik bukit bintang..
Teringat persada nun jauh disana
Putuskan berdikari untuk jadi berani.
memandang wajahmu untuk yang terakhir kali di bawah kecupan malam..
Sedih.
tapi aku kelabui hati
Tak ingin kecewa membanjiri harapmu..
aku ingin,
Suatu hari kau akan berdecak padaku bangga.
melihatku gariskan mentari di matamu.
dan hapuskan segala kelam yang terus rajai pagi dan malam kita.

Yk,  June 20 2010
*dedicated to the most honorable person in my world

March 04, 2015

Sebuah Nostalgi


              
Kehampaan rasanya genap di dada
Akibat sebuah polemik bijaksana
Yang dulu jadi saksi kita bersua           
Berdua, dalam belenggu kekanakan,
Menuai semua rasa
Berlagak, lenggak lenggok di atas panggung
Masa muda.                                             

Naif berlari rangkul aku kilat

Aku yakin akan keabadian. 

 

Di akhir purnama, temberang tak henti dalam deru angin
Apalah guna saling menahan keruh
Lepaskan saja tanganku, ujarku
Tapi kau masih saja bertahan
Menganggap ini mudah
Atau memang rasamu yang murah.

Gemerlap kenangan berantai hantui aku
Sesekali kau datang ketuk pintu
Tapi suaramu tak tertangkap frekuensiku
Jadi aku membisu
Untuk apa datang lagi
Apa semua begitu nampak mudah untukmu?

Perasaanku bukan sembarang diterbitkan.

Yk,  March 2015

January 10, 2015

Kota Pertama

Seandainya aku mampu kembali secepat halilintar ke kotamu
Tanpa harus celengan ini ku tunggu penuh agar isi perutnya bisa ku sobek sewaktu-waktu
Aku melawan kenyataan demi mimpiku
Aku mempertahankan inginku, sebuah idealisme yang menurut orang terlampau jadi ambisiusitas.
Aku harus kembali,  entah kapan
Tapi aku akan kembali
Dan buatmu tersenyum lagi.

Januari 10, 2015