Ekspektasi adalah senjata pemusnah kepribadian paling ampuh daripada doktrinisasi.
Orang-orang bermain lidah dengan mudahnya, mengagungi kemampuan seseorang dan merasa mereka akan selalu tetap di puncak tanpa tahu bahwa nirvana adalah kumpulan insecurity dan wonder, karena sewaktu-waktu mereka bisa jatuh ke bumi lalu terkubur dan dilupakan. (setelah fase dihina berjamaat oleh society)
Orang-orang berpikir singkat bahwa kesuksesannya adalah sebuah anugerah. Dia terlahir beruntung dan keberuntungan terpaut erat di kepalanya, menusuk sampai ke saraf-saraf kepalanya. Tengkoraknya penuh dengan kemudahan menyelesaikan masalah. Maka lahirlah ekspektasi.
Namun, adakalanya dia terjebak dengan sendirinya, sepi karena ekspektasi menghantam menahun di belakangnya.
Dia tak mampu bicara, hanya kirimkan sinyal SOS bagi yang mendengar. Tapi tak pernah ada yang datang..
Ketika satu kali dia gagal, mereka pikir dia lengah. Padahal dia hanya biasa. Dia juga berespirasi-aspirasi dan menapak di tanah.
Ketika lagi salah, orang-orang membicarakan di balik topeng mereka. Maka dia hanya akan diam, meski tahu mereka hanya manis di depan.
Dia lalu menutup diri dari dunia luar. Kejujuran jadi fana. Orang-orang menganggapnya permata ketika berhasil dan perkara ketika mencoba jelaskan bahwa dia manusia biasa.
Dia hidup di antara kelurusan, bertahun jadi vitamin untuk yang terpuruk
Tapi hari ini dia sadar, ternyata ketika dia terengah diremuk keadaan, tak satupun yang mau jadi vitamin. Maka dia lalu sadar, dia hanya sendiri. Di pojok kamar, meringkuk menunggu air mata keluar, karena sesak tak mampu lagi tertahan. Tapi dia tidak menangis, ketika dia tahu, satu-satunya yang ada untuknya adalah kenyataan.
Dan kenyataan itu berasal dari satu wujud, tak terlihat tapi janjinya selalu ada.
Maka aku datang berlari untukNya.
Yk, June 26 2015
No comments:
Post a Comment