Berawal dari
sebuah tangan yang ku terima meminta bantu dibawa jalan
dari asing
baginya, namun rumah untukku.
Sebuah
imbalan dibacakan padaku, sebagai tanda balas jasa atas bantuan
yang bertahun
kemudian dilupakannya.
Terkadang aku
membukanya, sesekali di masa lampau
Tapi logikaku
selalu berselancar bebas hinggap di dahan satu
sibuk
mengamati yang lain
Barisan
pendaki di bukit-bukit baru tempatku menata diri.
Adalah
matahari setengah tinggi, aku mulai memperhatikannya
Ketika dia
bertanya siapa namaku, kemudian menuliskannya di lembar
Lalu
tersenyum.
Aku
mengaguminya karena dia begitu berpendar dalam ilmu
Namun tetap
riuh saat kelompok kami menepi di tiap semester
Dia begitu
suka sesuatu yang lama,
Jiwa-jiwa
klasik dari buku-buku terbitan senja bacaannya, hipotesaku
Karena dia
suka bicara begitu tua dari umurnya
Persamaan
dimana aku selalu menemukan diriku yang sebenarnya, klasik.
Aku begitu
mengagumi pikirannya, yang jauh lebih luas melahap objek tulisan dariku.
Keingintahuannya
yang tak terelak membawanya maju dengan sangat baik
Pujian
mengalir baik di muka maupun belakangnya
Hal-hal yang
dia miliki adalah apa yang ingin tetuaku harapkan aku bisa seperti itu.
Aku
mengaguminya
Ku pikir, dia
tak begitu sadar langkahnya mampu
membuat
ribuan bunga bermekaran sebelum musim semi
membuat
pelangi hadir jauh sebelum awan menghirup uap air laut.
Aku
mengaguminya..
(meski kadang
aku ragu untuk melihatnya lama pada mata)
Mungkin
karena dia begitu luwes berteman dan terkadang
ku pikir
terlalu bersahabat, maka dia dengan mudah hadir di pikiran tiap insan
begitu pun
juga mengapa dia kini hadir di tulisanku
(ha-hal yang
nanti ‘kan ku ingat lagi dalam lowongku).
Dia begitu
mudah untuk dicintai, tapi ku pikir akan ada barisan panjang pengagum rahasia
maupun frontal
yang menunggu
untuk dipanggil namanya dari dalam doanya.
Semoga dia
akan selalu bersinar dan bahagia seperti ini
Karena aku,
seorang
pengagum biasa,
mendoakannya
seperti itu.
Yogyakarta, 22
April 2016
Cieeeee....cieeeeee... haha...:D haha...
ReplyDelete